Friday, September 22, 2006

Uang

Uang dipandang sebagai sumber dari segala harta dan kekayaan. Semua orang perlu uang. Bahkan lebih dari sekedar perlu, banyak orang tergila-gila oleh uang. Orang rela melakukan apa saja demi uang. Mengapa demikian?

Memiliki sejumlah uang berarti memiliki potensi utk memiliki barang apapun yg ada di dunia ini. Yg diperdagangkan pun skrg sudah bukan hanya sekedar barang berwujud materi, namun juga hal2 yg bersifat non materi spt kepuasan, kenyamanan, gengsi, atau bahkan hal spt kebohongan pun dapat dibeli. Nah, jika demikian uang menjadi segalanya dalam perikehidupan manusia. Kalo sudah begini, uang layaknya Tuhan.

Sejatinya uang adalah alat ganti dalam proses transaksi pertukaran barang yg sering disebut perniagaan. Uang diukur dalam hitungan angka yg terbilang. Angka inilah yg kemudian menjadi takaran dalam menilai suatu barang niaga.

Sebelum revolusi industri, standar tolak ukur nilai uang didasarkan kpd jumlah logam mulia (biasanya emas) yg diwakilinya. Atau sederhananya, uang itu adalah logam mulia itu sendiri. Namun, setelah revolusi industri, logam mulia bukan lagi standar tunggal yg menjadi acuan dlm menentukan nilai uang. Kini nilai uang juga ditentukan oleh hal yg lebih luas yg sifatnya abstrak spt kepercayaan, preferensi, keinginan, sentimen, dll. Citra nama sebuah negara misalnya dapat mempengaruhi posisi nilai suatu mata uang. Surat saham dan obligasi pun turut mempengaruhi uang. Padahal hal2 tersebut sangat imajiner, cenderung subjektif dan agak sulit utk menemukan standar kuantifikasinya. Ya, itulah "kotak hitam" sistem moneter dewasa ini.

Dalam skala negara, bank central kemudian mengeluarkan semacam sertifikasi bank (bank note) yg kemudian disebut uang berupa logam/medali dan kertas. Bank central yg kemudian berkewajiban utk menjaga nilai tukar uang tersebut berdasarkan parameter-parameter yg ikut mempengaruhi nilai uang seperti yg disebut di atas seperti, cadangan emas, neraca devisa negara, inflasi, indeks saham, stabilitas politik, iklim investasi, dll.

Pepatah ada gula ada semut, berlaku juga utk menggambarkan hubungan antara uang dan manusia. Kegiatan aktifitas manusia menententukan perputaran uang. Adalah fakta bahwa uang lebih dominan berputar di perkotaan sebagai pusat niaga dibanding di pedesaan yg seharusnya menjadi sentra produksi namun kini tampak kian tidak menjanjikan. Ini menjawab fenomena urbanisasi yg salah satunya ternyata disebabkan oleh perputaran uang yg sangat minim di pedesaan.

Dgn kondisi spt diatas, adalah naif mengharapkan sebuah ratio tingkat produksi (Gross National Product) yg tinggi. Padahal aktifitas yg produktif adalah kegiatan positif yang seharusnya bermanfaat. Walhasil, jika berbagi manfaat skrg diukur dgn uang, maka orang malas utk berbuat positif kalau tidak ada uangnya. Lha ... jika demikian apa lantas roda kegiatan harus macet? Padahal kan jaman dulu sebelum ditemukan uang, kegiatan tetap berjalan ...
---
# ./

So What

Adalah salah satu frase bahasa gaul yg sedang ngetop dewasa ini. Berasal dari bahasa English (baca Inggris) yg berarti kurang lebih: "Lantas mengapa?" ato "trus nape cing?" dll yg bernada sama.

"So what" dilatar-belakangi oleh budaya liberalisme yg membuka pintu kemerdekaan seluas2nya bagi individu utk berekspresi. Frase ini tadinya dimaksudkan sbg sebuah jawaban (baca bantahan) balik dari pihak yg dikritik atas ekspresinya.

"So what" memiliki banyak makna. Bisa bernuansa tantangan, keras dan bebal, ekspresi ketidak-pedulian atau malah sebuah keputus-asaan atas ketidakmampuan menjawab kritik atau komentar yg ada secara rasional.

Terlepas dari semua itu, frase "so what" memang ungkapan yg lugas dan sedang menjadi tren saat ini.
---
# ./